Saatnya Aremania Lebih Dewasa
“Di neraka gak ada Luna Maya, di neraka gak ada Aremania, di neraka gak ada soto ayam babat, yang ada cambuk malaikat……”. Lirik lagu Aremania itu pasti sudah banyak yang hafal, di dalam maupun di luar stadion. Mulai dari anak-anak sampai dewasa, mengenal lagu yang sempat populer itu.
Namun belakangan lagu tersebut mulai tenggelam, bahkan di beberapa laga home Arema kemarin sudah tak masuk dalam daftar nyanyian Arema. Bukan karena si Luna tengah disandung masalah serius, Aremania ada lagu baru yang lebih hits.
“Kami arema, salam satu jiwa, di Indonesia, kan selalu ada, selalu bersama, untuk kemenangan, kami … A…..rema’’
Lagu ini cukup membumi, dan kini jadi mars Aremania. Bangga rasanya mendengar lagu tersebut dinyanyikan Aremania se-stadion, bahkan sempat bulu kuduk ini merinding. Termasuk saat dinyanyikan di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Arema benar-benar seperti menjadi milik Indonesia.
Hebatnya lagi, Aremania tak butuh hiburan grup musik yang telah disiapkan panitia perang bintang, Minggu (6/6) malam. Aremania dengan caranya sendiri, memilih beraksi dari tribun penonton. Ya, mars Aremania menjadi pilihan utama untuk menggerakkan ribuan orang di Stadion Kanjuruhan saat itu.
Namun disela-sela kebanggan itu, ada rasa miris saat mendengar lagu caci makian Aremania pada dua kelompok suporter tim peserta Indonesia Super League. Bonek dan Viking, menjadi sasaran tembak Aremania. Kondisi ini sempat membuat panitia, khususnya dari PT Liga Indonesia menjadi gerah.
Maklum saja, Aremania yang menjadi proyek percontohan suporter teladan, ‘menyerang’ suporter lain, justru di depan petinggi PSSI dan PT Liga Indonesia. Bahkan saat Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Andi Malarangeng hadir di Kanjuruhan, nayanyian yang tak pantas didengar anak kecil itu tetap terdengar, di tribun timur dan selatan.
Bonek….., Viking …..Kalimat ini terus didengungkan, yang sepertinya itu adalah ‘oleh-oleh’ tur Aremania ke Jakarta. Pasalnya, Viking sebenarnya adalah ‘musuh’ utama The Jakamania, sementara suporter Persija tersebut selama dikenal ‘bersaudara’ dengan Aremania. Dan tampaknya, The Jakamania dan Aremania menyatukan visi menyerang Bonek dan Viking.
Tidak hanya di dalam stadion, saat melakukan konvoi beberapa waktu lalu, Bonek …Viking ……, seperti menjadi lagu wajib.
“Mas, kenapa ya Aremania itu sangat benci sama Bonek dan Viking,” tanya seorang anak SMP melihat aksi Aremania dengan bangganya mencaci maki dua kelompok suporter.
Kalau mau jujur, sebenarnya tidak banyak yang memahami akar permasalahan Aremania dengan Bonek maupun dengan Viking. Khususnya pada generasi muda saat ini, kebanyakan mereka hanya ikut-ikutan. Kenyataan seperti ini tentu sangat disayangkan, khususnya saat Indonesia ingin menggalang persatuan dan kesatuan lewat sepakbola.
Praktis, slogan sepakbola itu indah atau damai dengan sepakbola, hanya omong kosong. Termasuk saat Kongres Sepakbola Nasional di Malang beberapa waktu lalu dengan menghadirkan seluruh kelompok suporter hanya kedok. Aksi Indonesia Damai yang kabarnya digagas oleh Aremania pun rasanya tak ada artinya dengan perseteruan yang tak kunjung berakhir ini.
Aremania yang katanya sebagai pioner the best suporter ternyata belum mampu menunjukkan kapabilitasnya sebagai kelompok suporter yang dewasa. Meski berdalih aksi Aremania ini adalah aksi balasan, sepertinya juga tak bisa dibenarkan begitu saja. Aksi tak sportif kok dibalas dengan tidak sportif juga?
Padahal dampak dari rivalitas Aremania dengan Bonek, atau dengan Viking ini cukup berpengaruh pada aspek kehidupan lainnya. Arek Malang tidak mungkin selamanya hanya di Malang, karena suatu waktu pasti ke Surabaya atau ke Bandung. Efek lainnya, anak kecil sekarang dengan mudah mengatakan Bonek dengan kata-kata kotor.
Bahkan mereka mengaplikasikan pada hal yang lain. Ironis, dan inilah yang terjadi dari pembelajaran sepakbola permusuhan. Bukan tidak mungkin, dan bahkan beberapa kali sudah sempat terjadi, akan ada perang antar kelompok atau perang atar daerah. Ini tentu justru menjadi kemunduran.
Ada baiknya, perdamaian benar-benar dimulai dari Bhumi Arema. Sulit pasti sulit. Namun harus ada yang lebih bijaksana untuk memulai damai. Mungkin dimulai dengan nyanyian lagu-lagu Aremania yang lebih menghibur dan mendidik. Khususnya pada generasi Aremania mendatang, nyanyian bernada permusuhan bisa disisihkan.
Kalau perlu, lagu lawas Aremania di daur ulang. Termasuk Luna Maya, sepertinya tak pantas lagi menjadi tokoh idola Aremania. Pasalnya, di nereka mungkin akan ada Luna Mayak bersama Ariel Peterpan. Bagaimana Aremania?
0 Responses to "Saatnya Aremania Lebih Dewasa"
Leave A Comment :